Senin, 13 Juni 2011

Teori Resepsi

TEORI RESEPSI SASTRA I
Teori resepsi sastra merupakan salah satu aliran dalam penelitian sastra
yang terutama dikembangkan oleh mazhab Konstanz tahun 1960-an di jerman.
Teori ini menggeserkan fokus penelitian dari struktur teks ke arah penerimaan
atau penikmatan pembaca. Mazhab Konstanz meneruskan penelitian
fenomenologi, strukturalisme Praha, dan hermeneutika.
Untuk memahami latar belakang teori-teori resepsi, terlebih dahulu
dijelaskan secara singkat pandangan-pandangan yang berperan mendorong
tumbuhnya pandangan resepsionistik itu, terutama fenomenologi dah
hermeunetika.
Fenomenologi dirintis oleh Edmund Husserl sebagai aliran filsafat yang
menekankan bahwa gejala-gejala harus diajak berbicara dan diberi kesempatan
memperlihatkan diri. Bagi husserl, objek penelitian filosofis yang sebenarnya
adalah isi kesadaran kita dan bukan objek dunia. Kita menemukan sifat-sifat
universal atau esensial dalam benda-benda yang tampak justru di dalam kesadaran
kita. Dengan demikian, makna gejala-gejala hanya dapat disimpulkan berdasarkan
pengalaman kita mengenai gejala-gejala itu. Ketika Roman Ingarden mencoba
menggambarkan cara khas penerimaan sebuah karya seni, dia menggunakan
kerangka acuan fenomenologi untuk menjelaskannya. Menurut Ingarden, setiap
karya sastra secara prinsip belum lengkap karena hanya menghadirkan bentuk
skematik dan sejumlah tempat tanpa batas yang perlu dilengkapi secara individual
menurut pengalamannya akan karya-karya lain. Namun demikian, sejauh
menyangkut teks, kelengkapan itu tak pernah dapat sempurna. Yang dapat
dilakukan untuk melengkapi struktur karya sastra itu adalah melakukan
konkretisasi (penyelarasan atau pengisian makna oleh pembaca).
Hermeneutika semula terbatas pada teori dan kaidah menafsirkan sebuah
teks, khususnya kitab suci agama Yahudi dan Kristen secara filologis, historis,
dan teologis. Schleiermacher memperluas istilah itu untuk menyebut cara kita
memahami dan menafsirkan sesuatu yang selalu dipengaruhi oleh konteks
43
historis. Gadamer memperluas lagi lingkup hermeneutik. Menurut dia istilah itu
mengacu pada proses mengetahui, memahami, dan menafsirkan sesuatu tidak
hanya melibatkan subjek dan objek, melainkan merupakan sebuah proses sejarah.
Cakrawala kesadaran sejarah yang meliputi si penafsir menentukan
pengetahuannya (Hartoko, 1986: 38).
Berikut ini akan dikemukakan teori-teori resepsi yang paling menonjol
dalam lingkup teori sastra.
1. Hans Robert Jauss: Horison Harapan
Teori resepsi, yang merupakan sebuah aplikasi historis dari tanggapan
pembaca terutama berkembang di Jerman ketika hans Robert Jauss
menerbitkan tulisan berjudul Literary Theory as a Challenge to Literary
Theory (1970). Fokus perhatiannya, sebagaimana teori tanggapan pembaca
lainnya, adalah penerimaan sebuah teks. Minat utamanya bukan pada
tanggapan seorang pembaca tertentu pada suatu waktu tertentu melainkan
pada perubahan-perubahan tanggapan interpretasi dan evaluasi pembaca
umum terhadap teks yang sama atau teks-teks yang berbeda dalam kurun
waktu berbeda.
Jauss merupakan seorang ahli dalam bidang sastra Perancis abad
pertengahan dari Universitas Konstanz. Sebagai seorang ahli dalam bisang
sastra lama, Jauss beranggapan bahwa karya sastra lama merupakan
produk masa lampau yang memiliki relevansi dengan masa sekarang,
dalam arti ada nilai-nilai terntentu untuk orang yang membacanya. Untuk
menggambarkan relevansi itu Jauss memperkenalkan konsep yang
terkenal: Horizon Harapan yang memungkinkan terjadinya penerimaan
dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap sebuah objek literer.
Melalui penelitian resepsi, Jauss ingin merombak sejarah sastra masa itu
yang terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra
(genre). Fokus perhatiannya adalah proses sebuah karya sastra diterima,
sejak pertama kali ditulis sampai penerimaan-penerimaan selanjutnya.
44
De Man menilai bahwa Jauss berusaha menjembatani teori-teori
formalisme Rusia dengan teori-teori Marxis. Teori formalisme Rusia
dipandangnya terlalu berlebihan menekankan nilai estetik teks sehingga
mengabaikan dungsi sosial sastra. Sebaliknya teori-teori Marxis terlalu
menekankan fungsi sosial sastra dalam masyarakat sehingga hakikat sastra
sebagai karya seni kurang diperhatikan. Jauss menegaskan bahwa sebuah
karya sastra merupakan objek estetik yang memiliki implikasi estetik dan
implikasi historik. Implikasi estetik timbul apabila teks dinilai dalam
perbandingan dengan karya-karya lain yang telah dibaca, dan implikasi
historis muncul akibat perbandingan historis dengan rangkaian penerimaan
atau resepsi sebelumnya.
Jaus mengungkapkan tujuh tesis pemikiran teoretisnya. Secara
singkat ketujuh tesis itu berikut ini.
1) Karya sastra bukanlah monumen yang mengungkapkan makna yang
satu dan sama, seperti anggapan tradisional mengenai objektivitas
sejarah sebagai deskripsi yang tertutup. Karya sastra ibarat oerkestra:
selalu memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menghadirkan
resonansi yang baru yang membebaskan teks itu dari belenggu bahasa,
dan menciptakan konteks yang dapat diterima pembaca masa kini.
Sifat dialogal ini memungkinkan pembaca mengapropriasikan masa
lampau untuk ditiru, diabaikan, atau ditolak.
2) Sistem horison harapan pembaca timbul sebagai akibat adanya momen
historis karya sastra, yang meliputi suat prapemahaman mengenai
genre, bentuk, dan tema dalam karya yang sudah diakrabi, dan dari
pemahaman mengenai oposisi antara bahasa puitis dan bahasa seharihari.
Sekalipun sebuah karya sastra tampak baru sama sekali, ia
sesungguhnya tidak baru secara mutlak seolah-olah hadir dari
keosongan. Sastra telah memerpsiapkan pembacanya dalam sebuah
sistem penerimaan yang khas melalui tanda-tanda dan kode-kode
dalam perbandingan dengan hal yang sudah dikenal sebelumnya. Jadi,
ada interaksi antara teks dengan konteks pengalaman pencerapan
45
estetik yang bersifat transsubjektif itu. Horison harapan
memungkinkan seseorang mengenal ciri artistik sebuah karya teks
sastra.
3) Jika ternyata masih ada jarak estetik antara horison harapan dengan
wujud sebuah karya sastra yang baru, maka proses penerimaan dapat
mengubah harapan itu baik melalui penyangkalan terhadap
pengalaman estetik yang sudah dikenal atau melalui kesadaran bahwa
sudah muncul suatu pengalaman estetik yang baru. Di sini dituntut
penerimaan sastra sebagaimana penerimaan seni pertunjukan, yang
selalu memenuhi horison harapan sesuai dengan cita rasa keindahan,
sentimen-sentimen, dan emosi yang sudah dikenal. Justru karya sastra
yang adiluhung memiliki sifat artistik jarak estetik ini.
4) Rekonstruksi mengenai horison harapan terhadap karya sastra sejak
diciptakan atau disambut pada masa lampau hingga masa kini, akan
menghasilkan berbagai varian resepsi dengan semangat jaman yang
berbeda. Dengan demikian, pandangan platonis mengenai makna karya
sastra yang objektis, tunggal dan abadi untuk semua penafsir perlu
ditolak.
5) Teori estetika penerimaan tidak hanya sekadar memahami makna dan
bentuk karya sastra menurut pemahaman historis. Dia menuntut agar
kita memasukkan sebuah karya individual ke dalam rangkaian sastra
agar lebih dikenal posisi dan arti historisnya dalam konteks
pengalaman sastra.
6) Apabila pemahaman dan pemaknaan sebuah karya sastra menurut
resepsi historis tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan sikap
estetik, maka seseorang dapat menggunakan perspektif sinkronis untuk
menggambarkan persamaan, perbedaan, pertentangan, ataupun
hubungan antara sistem seni sejaman dengan sistem seni dalam masa
lampau. Sebuah sejaran sastra menjadi mantap dalam pertemuan
perspektif sinkronis dan diakronis. Jadi, sistem sinkronis tetap harus
46
membuat masa lampau sebagai elemen struktural yang tak dapat
dipisahkan.
7) Tugas sejarah sastra tidak menjadi lengkap hanya dengan
menghadirkan sistem-sistem karya sastra secara sinkronis dan
diakronis, melainkan harus juga dikaitkan dengan sejarah umum.
Kedudukan khas dan unik dari sejarah sastra perlu perlu mendapat
kepunuhannya dalam sejarah umum. Hubungan ini tidak berakhir
dengan sekadar menemukan gambaran mengenai situasi sosial yang
berlaku di dalam karya sastra. Fungsi sosial karya sastra hanya
sungguh terwujud bila pengalaman sastra pembaca masuk ke dalam
horison harapan mengenai kehidupannya yang praktis, membuat
dirinya semakin memahami dunianya, dan akhirnya memiliki pengaruh
kepada tingkah laku sosialnya. Pandangan Jauss tempaknya
memperoleh sambutan dan dukungan yang luas di kalahngan ilmuwan
sastra modern.
2. Wolfgang Iser: Pembaca Implisit
Iser juga termasuk salah seoramh eksponen mazhab Konstanz. Tetapi
berbeda dari Jaunn yang memperkenalkan model sejarah resepsi, Iser lebih
memfokuskan perhatiannya kepada hubungan individual antara teks dan
pembaca (estetikan pengolahan). Pembaca yang dimaksud oleh Iser
bukanlah pembaca konkret individual, melainkan pembaca implisit. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa pembaca implisit merupakan suatu instansi
di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan
pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu
sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu.
Iser mengemukakan teori resepsinya dalam bukunya The Act of
Reading: a Theory of Aesthetic Response (1978). Menurut Iser, tak
seorang pun yang menyangkal keberadaan pembaca dalam memberi
penilaian terhadap karya sastra, sekalipun orang berbicara mengenai
otonomi sastra. Oleh karena itu, observasi terhadap respon pembaca
47
merupakan studi yang esensial. Pusat kegiatan membaca adalah interaksi
antara struktur teks dan pembacanya. Teori fenomenologi seni telah
menekankan bahwa pembacaan sastra tidak hanya melibatkan sebuah teks
sastra, melainkan juga aksi dalam menanggapi teks. Teks itu sendiri
hanyalah aspek-aspek skematik yang diciptakan pengarang, yang akan
digantikan dengan kegiatan konkretisasti (realisasi makna teks oleh
pembaca).
Iser (1978: 20-21) menyebutkan bahwa karya saastra memiliki dua
kutub, yakni kutub artistik dan kutub estetik. Kutub artistik adalah kutub
pengarang, dan kutub estetik merupakan realisasinya yang diberikan oleh
pembaca. Aktualisasi yang benar terjadi di dalam interaksi antara teks
(perhatian terhadap teknik pengarang, struktur bahasa) dan pembaca
(psikologi pembaca dalam proses membaca, fungsi struktur bahasa
terhadap pembaca). Penelitian sastra harus dimulai dari kode-kode struktur
yang terdapat dalam teks. Aspek verbal (struktur/bahasa) perlu dipahami
agar menghindarkan penerimaan yang arbitrer. Fungsi struktur itu tidak
berlaku selama belum ada efeknya bagi pembaca. Oleh karena itu
penelitian perlu dilanjutkan dengan mendeskripsikan interaksi antara
bahasa dan pembaca, yang merupakan kepenuhan penerimaan teks.
Bagi Iser, tugas kritik teks adalah menjelaskan potensi-potensi
makna tanpa membatasi diri pada aspek-aspek tertentu, karena makna teks
bukanlah sesuatu yang tetap melainkan sebagai peristiwa yang dinamik,
dapat berubah-ubah sesuai dengan gudang pengalaman pembacanya.
Sekalipun disadari bahwa totalitas makna teks tidak dapat secara tuntas
dipahami, proses membaca itu sendiri merupakan suatu prakondisi penting
bagi pembentukan makna. Makna referensial bukanlah ciri pokok estetis.
Apa yang dinamakan estetis adalah jika hal tertentu membawa hal baru,
sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Jadi, penetapan makna estetis
sesungguhnya bermakna ganda, bersifat estetis sekaligus diskursif.
Pengalaman yang dibangun dan digerakkan dalam diri pembaca oleh
48
sebuah teks menunjukkan bahwa kepenuhan makna estetis muncul dalam
relasi dengan sesuatu di luar teks.
Pandangan Iser tentang estetika resepsi dapat dipahami dengan
meninjau teorinya mengenai pembaca implisit dan membandingkannya
dengan teori-teori pembaca lainnya.
Menurut Iser, konsep tradisional mengenai pembaca selama ini
umumnya mencakup dua kategori, yakni pembaca nyata atau pembaca
historis dan pembaca potensial atau pembaca yang diandaikan oleh
pengarang. Diandaikan bahwa pembaca jenis kedua ini mampu
mengaktualisasikan sebuah teks dalam sebuah konteks secara memadai,
seperti seorang pembaca ideal yang memahami kode-kode pengarang.
Selain teori-teori tradisional tersebut, terdapat beberapa pandangan
yang lebih modern tentang pembaca, yang menurut Iser tidak bebas dari
kesalahan.
1) Michael Riffaterre memperkenalkan istilah superreader, yakni sintesis
pengalaman membaca dari sejumlah pembaca dengan kompetensi
yang berbeda-beda. Kelompok ini diharapkan dapat mengungkap
potensi semantik dan pragmatik dari pesan teks melalui stilistika.
Kesulitan akan muncul bila terdapat penyimpangan gaya, yang
mungkin hanya dipahami dengan referensi lain di luar teks.
2) Stanley Fish mengajukan istilah informed reader (pembaca yang tahu,
yang berkompeten), yang mirip dengan konsep Rifattere. Untuk
menjadi seseorang pembaca yang berkompeten, diperlukan syaratsyarat:
a) kemampuan dalam bidang bahasa, b) kemampuan semantik,
c) kemampuan sastra. Melalui kemampuan-kemampuan ini seorang
informed reader dapat merespon karya sastra. Teori ini tidak dapat
diterima karena lebih berkaitan dengan teks daripada dengan
pembacanya. Perubahan kalimat misalnya, lebih berkaitan dengan
aturan gramatikal daripada pengalaman pembaca.
3) Edwin Wolff mengusulkan intended reader, yakni model pembaca
yang berada dalam benak penulis ketika dia merekonstruksikan idenya.
49
Model pembaca ini mengacu kepada pembayangan seorang penulis
tentang pembaca tulisannya melalui observasi akan norma dan nilai
yang dianut masyarakat pembacanya. Pembaca ini akan mampu
menangkap isyarat-isyarat tekstual. Persoalannya, bagaimana jika
seorang pembaca yang tidak dituju pengarang tetapi mampu
memberikan arti kepada sebuah teks?
Iser sendiri mengajukan konsep implied reader untuk mengatasi
kelemahan pandangan-pandangan teoritis mengenai pembaca.
Pembaca tersirat sesungguhnya telah dibentuk dan distrukturkan di
dalam teks sastra. Teks sendiri telah mengandung syarat-syarat bagi
aktualisasi yang memungkinkan pembentukan maknanya dalam benak
pembaca (Iser, 1982: 34). Dengan demikian, kita harus mencoba
memahami efek tanggapan pembacanya terhadap teks tanpa prasangka
tanpa mencoba mengatasi karakter dan situasi historisnya. Teks sudah
mengasumsikan pembacanya, entah pembaca yang berkompeten
maupun tidak. Teks menampung segala macam pembaca, siapapun
dia, karena struktur teks sudah menggambarkan peranannya.
Perhatikan bahwa teks sastra disusun seorang pengerang (dengan
pandangan dunia pengarangnya) mengandung empat perspektif utama,
yaitu pencerita, perwatakan, alur, dan bayangan mengenai pembaca.
Keempat perspektif ini memberi tuntunan untuk menemukan arti teks.
Arti teks sebuah teks dapat diperoleh jika keempat perspektif ini dapat
dipertemukan dalam aktivitas atau proses membaca. Di sini terlihat
kedudukan pembaca yang sangat penting dalam memadukan perspetifperspektif
tersebut dalam satu kesatuan tekstual, yang dipandu oleh
penyatuan atau perubahan perspektif.
Instruksi-instruksi yang ditunjukkan teks merangsang bayangan
mental dan menghidupkan gambaran yang diberikan oleh struktur teks.
Jadi gambaran mental itu muncul selama proses membaca struktur
teks. Pemenuhan makna teks terjadi dalam proses ideasi
(pembayangan dalam benak pembaca) yang menerjemahkan realitas
50
teks ke dalam realitas pengalaman personal pembaca. Secara konkret,
isi nyata dari gambaran mental ini sangat dipengaruhi oleh gudang
pengalaman pembaca sebagai latar referensial.
Konsep implied reader memungkinkan kita mendeskripsikan efekefek
struktur sastra dan tanggapan pembaca terhadap teks sastra.

Kamis, 09 Juni 2011

Kumpulan Puisi

Kumpulan Puisi

Kertas putih melukis rindu
Kamis, Agustus 13
secarik kertas terbaring lemah tak berdaya.. Memberi pengharapan pada jemari yang mau meraihnya.. Tergolek lemah Pena disampingnya.. Berharap dipeluk mesra oleh jemari..

Sang surya tak mampu hangat kan, sang angin tak mampu sejukkan..

Hanya jemari lentik yg berusaha memeluk mesra pena,, berusaha menggores tinta hitam di kertas putih..
Menggoreskan luka yg kesekian kali terjadi, luka yg begitu menyesak dihati,,

Luka karena rindu
Luka karena mencintai dustamu
Meski begitu, tetap ku merinduimu,

Mungkin terlihat bodoh, tapi bagiku..
Bisa mencintaimu merupakan keindahan yang mahal,
Meski dusta sebagai balasan..

Tak urung ku gores tinta hitam,
Menulis semua kerinduan yang mendalam,,

Biarlah kertas tak putih lagi,
Biarlah tinta habis terurai,
Biarlah..
Biarlah..

Asal kau bisa mengerti,
Goresan rindu dalam kertas ini,,


Marblezia, Januari 08




Taufiq Ismail

BAGAIMANA KALAU


Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam,
tapi buah alpukat,
Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat,
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah,
dan kepada Koes Plus kita beri mandat,
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi,
dan ibukota Indonesia Monaco,
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas,
salju turun di Gunung Sahari,
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin
dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop,
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia
dibayar dengan pementasan Rendra,
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi,
dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan,
Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di
kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan
margasatwa Afrika,
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil
mempertimbangkan protes itu,
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita
pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya
kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.


1971







Taufiq Ismail

BAYI LAHIR BULAN MEI 1998


Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga
Suaranya keras, menangis berhiba-hiba
Begitu lahir ditating tangan bidannya
Belum kering darah dan air ketubannya
Langsung dia memikul hutang di bahunya
Rupiah sepuluh juta


Kalau dia jadi petani di desa
Dia akan mensubsidi harga beras orang kota
Kalau dia jadi orang kota
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya
Kalau dia bayar pajak
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing
Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing


Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga
Mulutmu belum selesai bicara
Kau pasti dikencinginya.


1998









Taufiq Ismail
KETIKA BURUNG MERPATI SORE MELAYANG



Langit akhlak telah roboh di atas negeri
Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri
Karena hukum tak tegak, semua jadi begini
Negeriku sesak adegan tipu-menipu
Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku
Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku
Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku
Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku
Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku


Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan
Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan
Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan
Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan


Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan
Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan
Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan
Berjuta belalang menyerang lahan pertanian
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan


Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran api
Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti
Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri
Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini
Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api
Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri


Kukenangkan tahun ‘47 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga
Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi
Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri
Seluruh korban empat tahun revolusi
Dengan Mei ‘98 jauh beda, jauh kalah ngeri
Aku termangu mengenang ini
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri


Ada burung merpati sore melayang
Adakah desingnya kau dengar sekarang
Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan
Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan
Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah
Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku
Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu?


Ada burung merpati sore melayang
Adakah desingnya kau dengar sekarang



1998
















Chairil Anwar

AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943










Chairil Anwar
PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

1948


Siasat,
Th III, No. 96
1949












Chairil Anwar
MIRAT MUDA, CHAIRIL MUDA

Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
menatap lama ke dalam pandangnya
coba memisah mata yang menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah.

Ketawa diadukannya giginya pada mulut Chairil;
dan bertanya: Adakah, adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan pasti di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti.
Dia rapatkan

Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan dera,
menuntut tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati

-di pegunungan 1943, ditulis 1949











Chairil Anwar
RUMAHKU

Rumahku dari unggun-unggun sajak
Kaca jernih dari segala nampak

Kulari dari gedung lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala
Dipagi terbang entah kemana

Rumahku dari unggun-unggun sajak
Disini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
jika menagih yang satu

April 1943

Peranan Bahasa Indonesia Saat ini ..

Peranan Bahasa Indonesia Saat ini ..

            Bahasa Indonesia merupakan Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk berkomunikasi satu sama lain . Beragamnya Suku di Indonesia tidak membuat masyarakat Indonesia lepas dari komunikasi karena ada bahasa nasional yang dapat digunakan yaitu Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia itu sendiri merupakan bahasa penghubung untuk setiap suku di Indonesia yang bisa tetap berkomunikasi secara baik tanpa ada salah paham.
            Di Jakarta contohnya, yang tinggal di Jakarta bukan hanya warga Jakarta asli (Betawi) , Namun di Jakarta merupakan pusat dari berjuta-juta masyarakat se-Indonesia dari Sabang sampai Merauke ada di Jakarta. ( Batak, Sunda, Jawa, Aceh, dll ). Bercampurnya Suku dalam suatu kotaJakarta tidak ada Rasis. tersebut tidak membuat masyarakat tidak dapat bersosialisasi dengan baik, namun ternyata di
            Masyarakat satu dengan lainnya dapat mengerti dan bersatu untuk bangsa dengan menggunakan bahasa Indonesia. Perbedaan Suku yang merupakan perbedaan bahasa tetap bukan jadi masalah.
            Untuk Peranan bahasa Indonesia itu sendiri jelas untuk kondisi saat ini yaitu sebagai bahasa resmi kenegaraan ,  bahasa pengantar didalam dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, dan alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi., sebagai bahasa media massa . media massa cetak dan elektronik, baik visual, audio, maupun audio visual harus memakai bahasa Indonesia. Media massa menjadi tumpuan kita dalam menyebarluaskan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Sehingga seluruh masyarakat di Indonesia yang ingin mengetahui perkembangan yang tejadi tetap bisa mengerti karena menggunakan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia.

LAGU INDO

Selasa, 07 Juni 2011

Analisis Strukturalisme Genetik


Analisis strukturalisme genetik

Analisis Strukturalisme Genetik
Cerpen Yang Sudah Hilang
Karya Pramoedya Ananta Toer
Oleh: Pekik Nursasongko

Pendahuluan
Pramoedya Ananta Toer adalah seorang sastrawan Indonesia yang sangat produktif. Ia beberapa kali dicalonkan sebagai penerima nobel sastra. Karya-karya Pramoedya mampu melewati perbatasan zaman, usia, ideologi, bahkan benua. Seolah-olah karya tetap aktual meski ditulis berpuluh tahun silam. Dari sekian banyak kritikus sastra masih sangat sedikit yang menganalisis cerpen-cerpen Pramudya. Mayoritas dari mereka sudah cukup puas hanya dengan menganalisis novel-novelnya saja. Padahal cerpen-cerpen Pramudya juga memeiliki bobot yang mengagumkan, cerpen yang mampu menggambarkan bagaimana keadaan sosio-kultural Indonesia di masa silam. Salah satu cerpen karya Pramudya yang menarik adalah Yang Sudah Hilang, sebuah cerpen yang ditulis Pramudya pada tanggal 13 Januari 1952.
Teori strukturalisme genetik dipilih karena melalui teori inilah cerpen karya Pramoedya mampu dianalisis dari dua sisi (strukturalnya yang otonom dan sosio-kultural masyarakat dimana cerpen tersebut lahir) dan hubungan antara dua sisi tersebut.
Struktur cerpen Yang Sudah Hilang
Faruk (1994: 17) menyebutkan bila struktur karya sastra bagi Goldmann mencakup hubungan antar tokoh dalam teks dan hubungan tokoh dengan dunia atau objek lain di sekitar tokoh. Asumsi tersebut secara tidak langsung menyebutkan bila Goldmann mempunyai konsep struktur yang bersifat tematik, yang memusatkan perhatian pada relasi antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada disekitarnya. Dengan demikian, Goldmann membdedakan teks sastra dengan filsafat yang mengungkapkan pandangan dunia secara konseptual dan sosilogi yang mengekspresikan pandangan dunia secara empirisitas.
Tokoh merupakan bagian yang sangat penting dalam sebuah cerita. Walaupun tokoh merupakan hasil imajinasi pengarang namun plausibilitas atau kemasuk akalan kehidupan tokoh (termasuk perasaan dan pikiran) harus tetap ada. Berdasar fungsinya tokoh dibagi dalam dua kategori, tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama sendiri mencakup tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis ialah tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma dan nilai-nilai yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca, sedangkan tokoh antogonis adalah tokoh yang menjadi lawan bagi tokoh protagonis sehingga menciptakan konflik (Alternbernd dan Lewis via Nugiyantoro, 2000: 178). Penamaan tokoh tambahan didasarkan atas fungsinya yang hanya menjadi pelengkap keberadaan tokoh utama, meskipun kehadirannya tetap diperlukan sebagai pendukung jalannya cerita (Sudjiman, 1998: 19).
Nugiyantoro (2000: 176- 177) menyebutkan bila penentuan seorang tokoh masuk dalam kategori utama atau tambahan dapat ditentukan melalui intensitas kemunculannya dalam rangkaian peristiwa yang membangun cerita. Goldman (1997: 1-2) menyebut tokoh sebagai tokoh hero, tokoh yang mencari nilai-nilai autentik dalam dunia yang memburuk. Faruk ( 1994: 34) menambahkan bila tokoh hero yang dimakud Goldman bisa berwujud kolektif (lebih dari satu orang) atau individual.
Tokoh hero dan probelematiknya
1.Tokoh Bunda
Tokoh Bunda dijadikan sebagai tokoh protagonis karena intensitas keterlibatannya yang tinggi di dalam cerpen Yang Sudah Hilang dan selalu hadir sebagai pelaku yang dikenai konflik, sedangkan tokoh antogonis dalam cerpen Yang Sudah Hilang adalah tokoh bapak. Melalui prespektif strukturalime genetik, maka tokoh hero dalam cerpen Yang Sudah Hilang adalah tokoh Bunda. Asumsi ini didasarkan atas problem kehidupan dan pererjuangan keras untuk mendapatkan nilai-nilai autentik dalam hidupnya. Dalam cerpen Yang Sudah Hilang tokoh Bunda digambarkan sebagai sosok yang menganut paham theisme. Ia sangat percaya akan manfaat sembahyang dan membaca al-Qur’an. Hal tersebut nampak pada percakapan berikut: “Untuk apa orang bersembahyang, bu?” pernah aku bertanya. “Supaya mendapat rahmat dari Tuhan”, katanya. “Nanti kalau engkau sudah besar engkau akan mengerti sendiri apa gunanya. Engkau sekarang masih kecil. Lebih baik engkau bermain-main saja”(halaman 13)
Sosok bunda dalam cerpen Yang Sudah Hilang juga dilukiskan sebagi seorang pekerja keras. Meskipun ia seorang perempuan namun ia biasa mencangkul. Seperti nampak pada kesaksian tokoh Aku mengenai Bundanya: Bunda biasa mencangkul di ladang. Dan di waktu-waktu seperti itu, kalau aku tak sedang bermain-main, pasti ikut dengannya…. (halaman 25)
2. Relasi tokoh Bunda dengan tokoh Aku Dalam hubungan dengan tokoh Aku, tokoh Bunda digambarkan sebagai sosok yang selalu berusaha menentramkan tokoh Aku. Seperti dapat dilihat dalam cuplikan berikut: Kemudian bunda menyanyikan lagu daerah. Dan suaranya yang lembut-lunak itu mendayu-dayu dan menidurkan ketakutanku. Kubelai-belai rambutnya yang kacau ditiup angin, kupermainkan kupingnya yang dihiasi dengan markis berlian itu. Kemudian, kemudia terdengar suaranya yang manis dalam perasaanku: “Engkau mengantuk. Mari kutidurkan”. Halaman 2.
Selain menjadi sosok yang selalu berusaha menentramkan bagi tokoh Aku, tokoh Bunda juga selalu berusaha agar anaknya tidak mengetahui apa yang menyebabkannya sering menangis. Hal tersebut nampak pada kutipan berikut: “Ibu! Ibu!” aku berseru
Ibu tak menyahuti, juga tak bergerak dari tempatnya. Dengan susah payah aku naik ke atas ranjang. Dan kulihat mata Bunda merah, sebentar-sebentar dihapusnya dengan selimut adikku kecil. Aku terdiam. Lama. Terdiam oleh ketakutan. “Mengapa menangis bu?” aku bertanya. Baru bunda memandang aku. Diraihnya aku dan ditidurkannya di sampingnya.
“Mengapa bu?” aku bertanya lagi. “Tidak apa-apa, anakku”. (Hlm 15)
Sangat mungkin tujuan sikapnya tersebut ditujukan agar si anak yang masih kecil tidak larut dalam kesedihan.
3. Relasi Tokoh Bunda dengan tokoh Ayah Dalam cerpen Yang Sudah Hilang tokoh Bunda sangat jarang terlibat percakapan dengan tokoh Ayah. Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh banyaknya perkara yang berseberangan jalan antara tokoh Bunda dan Ayah sehingga keduanya bercerai. Contoh kecil adalah tanggapan tokoh Bunda saat tokoh Ayah membelikan banyak mercon (petasan) di hari lebaran. Menurut tokoh Bunda hal itu dilarang oleh agama karena merupakan peralatan ibadah Tionghoa
4. Relasi tokoh Bunda dengan tokoh Nyi Kin Relasi antara tokoh Bunda dan tokoh Nyi Kin adalah relasi antara tuan dan pembantu. Sehingga beberapa kali tokoh Bunda meminta Nyi Kin untuk memandikan anaknya. Namun relasi tersebut terputus akibat ulah Nyi Kin yang mencuri bumbu dapur, dan tokoh Bunda tak mengijinkan hal seperti itu terjadi di rumahnya.
5. Relasi tokoh Bunda dengan tokoh Pembantu Baru Relasi antara tokoh Bunda dan tokoh Pembantu Baru sama persis dengan relasi tokoh Bunda dengan tokoh Nyi Kin. Perbedaannya adalah terputusnya relasi antara tokoh Bunda dengan tokoh Pembantu Baru disebabkan oleh pengunduran diri tokoh Pembantu Baru.
6. Relasi tokoh Bunda dengan Dipo Dalam cerpen Yang Sudah Hilang Tokoh Dipo adalah salah satu anak angkat tokoh Bunda. Sebagai anak angkat relasi yang terbangun antara keduanya tidak bisa menyamai relasi tokoh Bunda dengan tokoh Aku.
7. Tokoh Aku Keterpecahan yang dibicarakan Goldmann di atas dalam Keterpecahan yang dibicarakan Goldmann di atas dalam Yang Sudah Hilang karya Pramoedya dialami oleh tokoh aku. Tokoh aku mengalami kesenjangan antara dunia ideal yang diharapkannya dengan dunia realitas yang dihadapinya. Tokoh aku dalam Yang Sudah Hilang adalah seorang anak yang memiliki perasaan yang cukup peka. Hal ini tergambar dalam sikap tokoh seperti tersebut di bawah ini: Dari depan rumah kami nampak pucuk rumpun-rumpun bamboo yang hijau hitam. Bila angin meniup mereka bersuling-suling meliuk yang selalu menimbulkan perasaan takut dalam hatiku di waktu kecil. Segera aku lari ke pangkuan bunda dan menangis. …..”Ibu bambu itu menangis” ( Toer, 1-2)
Saat ada bunyi keriut bambu, tokoh aku menangis karena merasa suara itu adalah suara bambu yang menangis. Dia tidak nyaman mendengar suara keriut bambu, dalam sangkanya, suara keriut bambu sama dengan suara tangisan. Karena itulah dia ikut menangis. tokoh aku mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Ibunya, hal ini terlihat pada penggalan cerita di atas, saat ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman, yaitu suara keriut bambu, dia lari ke pangkuan ibunya. Ibu dipandang sebagai sosok yang mampu menenangkan keresahannya. Seperti halnya anak-anak kecil lain yang memang lebih mencari ibu dibanding mencari bapaknya saat menangis. Ibu dinilai dapat memberikan kasih sayang, perlindungan dan rasa aman yang diperlukannya.
8. Relasi tokoh Aku dan Bapak Bapak dalam Yang Sudah Hilang digambarkan sebagai seorang laki-laki yang berprofesi sebagi Guru. Sebagai seorang bapak, dia kasih terhadapa anaknya, pun demikian sang aku sebagai seorang anak kasih terhadap bapaknya.
Bila pagi hari ayah hendak berangkat ke sekolah dan aku melihat ini, segera aku minta ikut ( Toer, 11). Sebagai seorang anak, dia enggan berpisah dengan bapaknya. Hubungan keluarga ini awalnya sangat haromonis, ayah-ibu dan anak-anak banyak menghabiskan waktu bersama, namun lambat laun sang bapak jadi sering tidak pulang kerumah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dalam diri tokoh aku.
”Dimana Bapak, Bu?”
”Bapak sedang bekerja”
”Sudah begini malam?”
”Ya, Bapak banyak bekerja”
”Kapan Bapak datang, bu?”
pertanyaan-demi pertanyaan tentang bapaknay selalu saja diajukan tokoh aku. Tokoh aku melihat keganjilan dengan jarangnya melihat Bapak pulang ke rumah.
Rasa sayang tokoh aku terhadapa Bapak juga tampak . pada penggalan berikut ini
”Sudah makan engkau?”
”Sudah. Nanti kalau bapak pulang aku turut makan lagi. Aku senang makan bersama-sama Ibu dan Bapak. Tapi alangkah lamanya- dan bapak belum datang-datang juga. Nanti malam barangkali Bapak datang. Datang, bu?” (Toer, 17)
Pertanyaan tersebut diajukan kepada ibunya sekaligus kepada dirinya sendiri. Dalam dunia idealnya, bapak akan datang nanti malam dan dia bisa makan malam bersama bapak dan ibunya, namun seringnya harapan itu tidak terwujud.
Sehabis mandi, ayah tak juga datang. Aku mulai menangis. kutolak segala janji dan makanan yang disuguhkan di depan hidungku. Malam itu ayah tak juga datang dan aku menangis terus tak habis-habisnya (Toer, 18)
9. Relasi tokoh Aku dan Pembantu Tokoh aku sempat diasuh oleh 2 orang pembantu pada masa kecilnya. Pengasuhnya yang pertama adalah nyi Kin, hubungan tokoh aku dengan nyi Kin cukup dekat, Nyi kIn menyayangi tokoh aku seperti manyayangi anaknya sendiri. Saat Nyi Kin pergi, tokoh aku merasa sangat kehilangan, terlihat dalam potongan cerita berikut ini
Aku masih ingat, waktu itu nyi Kin jatuh sakit dan dia pergi tanpa memberitahukan keberangkatannya kepadaku. Aku cari dia kemana-mana. Tapi dia tak dapat kutemu. Dan aku menangis berpanjang-panjang. Ada terasa suatu kekosongan besar dalam hatiku (Toer, 7)
Akan halnya dengan pembantu setelah nyi Kin, tokoh aku juga terkesan, namun tidak sedalam kesannya terhadap nyi Kin. jadi kepergian babu itu tak meninggalkaan kesan apa-apa pada kami serumah (Toer, 11)
10. Relasi tokoh Aku dan Dipo Yang dimaksud saudara angkat di sini adalah anak-anak yang diasuh oleh Bapak Ibu tokoh aku. Hubungan tokoh aku dengan saudara angkatnya tidak begitu banyak diceritakan, kecuali hanya sebagai teman bermain saja. Terlihat dalam penggalan dialog antara tokoh aku dengan bapak saat bapak henadak pergi
”mau pergi kamana, pak?”
”kerja”
”bolehkah aku ikut?”
”tidak boleh. Nanti kalau sudah besar engkau boleh pergi sendiri. Main-main sajalah sengan mas-masmu” (Toer, 22)
Latar
Konsep struktur menurut Goldmann tidak hanya mencakup hubungan tokoh dengan tokoh, namun juga mencakup hubungan tokoh dengan dunia atau objek disekitar tokoh. Dunia dan objek disekitar tokoh selanjutnya disebut latar. Dalam analisis cerita rekaan, latar atau setting juga merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi penentuan nilai estetik karya kesusastraan. Latar biasa disebut sebagai atmosphere atau setidak-tidaknya merupakan bagian atmosphere atau tone secara keseluruhan. Peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam sebuah cerita rekaan umumnya terjadi pada suatu lingkungan tertentu, baik lingkungan tempat maupun lingkungan waktu. Demikian halnya dengan keseluruhan lingkungan pergaulan tokoh suatu cerita rekaan, termasuk di dalamnya kebiasaan-kebiasaan, pandangan hidup, latar belakang sesuatu lingkungan juga dapat dimasukkan ke dalam pengertian latar. Sehingga latar dalam cerita rekaan ialah segala informasi tentang tempat atau ruang cerita yang digambarkan secara kongkret dan jelas. Oleh karena itu latar dalam cerita rekaan terdiri dari lima aspek yaitu:
A. Latar Tempat Latar tempat dalam cerpen Yang Sudah Hilang menunjuk lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan yakni kota Blora di Jawa Tengah. Terdapat rumah tokoh yang terletak di dekat Kali Lusi yang melingkari separoh bagian kota Blora. Di dalam rumah itu terdapat dapur dimana tokoh aku menghabiskan waktu di pagi hari bersama babunya (Nyi Kin dan babu baru), dan ruang kamar yang menjadi titik sentral terjadinya berbagai peristiwa antara tokoh aku, bunda/ibu, dan ibu. Di dapur tokoh aku banyak menghabiskan waktu yaitu ketika dia minta mandi dengan Nyi Kin dan pada saat setelah bangun pagi bersama babu yang baru. Di dalam dapur terjadi peristiwa bahwa tokoh aku melihat sosok hantu sehingga pada akhirnya dimarahi oleh bundanya. Hal itu dapat dilihat dari penggalan cerita yaitu:
“ … …Pelahan aku pergi mendapatkan Nyi Kin di dapur minta mandi..”.(hal: 3).
” …… tiap pagi kami berdualah yang paling dahulu bangun…
Dapur kami berdiri lepas dari rumah untuk tempat tinggal. Bangun atapnya tak ubahnya dengan lembaran seng yang dilipat sedikit dan diletakkan di atas rangka dapur….
……Di lubang atap yang berbentuk segi tiga itu nampak olehku sebuah kepala besar menjenguk-jenguk…aku lihat janggut dan kumisnyaputih dan seluruh mukanya hitam-lebih hitam dari alam luar…. Pernah juga aku bercerita tentang apa yang kulihat itu pada bunda. Bunda tak pernah mau mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Kadang-kadang sebaliknya malah. Ia merengut….”(hal 10-11).
Dalam kamar, yang menjadi titik sentral terjadinya peristiwa terdapat berbagai peristiwa yaitu: ketika tokoh aku mendapati ibunya mengaji dan ia bertanya untuk apa orang sembahyang?, kemudian ibu menjawabnya yang di dalamnya terdapat suatu ideologi theisme atau ketuhanan. Dan di ruang kamar tersebut tokoh “aku” banyak menanyakan tentang bapaknya yang jarang pulang ke rumah dan sebagai tempat bunda menenangkan kondisi “aku”. Di kamarnya pula tokoh “aku” sering melihat ibunya menangis. Salah satu pelukisan setiap kejadian tersebut dapat dilihat dalam peninggalan cerpen:
“ ……Untuk apa orang bersembahyang, ibu?”pernah aku bertanya. “Supaya mendapat rahmat dari Tuhan,”katanya.” Nanti kalau engkau sudah besar engkau akan mengerti sendiri apa gunanya…”.(hal: 12-13).
“ ……Dimana bapak, bu?”tanyaku lagi. “Ya bapak banyak bekerja”. “Kapan bapak pulan dating, bu?”. Kalau engkau bangun tidur, bapak nanti pulag. Ayo tidur lagi, anakku”. Dan dibawanya aku ke ranjang. Sebentar bunda menina-bobokkan…”. (hal: 13).
“ ……Dengan susah payah aku naik ke atas ranjang. Dan kulihat mata bunda merah sebentar-sebentar dihapusnya dengan selimut adikku kecil…“Mengapa menangis, bu?” aku bertanya lagi…”. (hal: 15).
Penggalan peristiwa tersebut hanya satu contoh peristiwa dari setiap peristiwayang terjadi dalam kamar. Dan setiap peristiwa tersebut merupakan masalah yang menjadi masalah sentral yang melatarbelakangi berbagai masalah selanjutnya. Permasalahan tentang ketidakjelasan mengapa ayahnya jarang pulang sehingga membuat kondisi “aku” sangat merindukannya sehingga timbul berbagai masalah bahkan membuat kesedihan hati ibunya dan membuatnya menangis.
B. Latar Lingkungan Kehidupan atau latar Sosial Latar sosial dalam cerpen ini berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial, kebiasaan hidup, keyakinan, cara berpikir ataupun bersikap dari tokoh. Dari paparan latar tempat diperoleh gambaran bahwa latar sosialnya mencakup kehidupan sebuah keluarga yang tinggal di sekitar Kali Lusi. Kehidupan keluarga tersebut tergolong mapan karena dapat memiliki babu/pembantu sehingga tidak terdapat latar ekonomi. Justru dalam cerpen ini terdapat suatu keyakinan tentang ketuhanan/religi yang meyakini ajaran Islam yang dapat terlihat dari perilaku Bunda yang sedang mengaji, serta tradisi membunyikan mercon/petasan pada hari raya merupakan tradisi orang Tionghoa, dan hal itu merupakan ideologi dalam kehidupan tokoh. Dalam cerpen tersebut juga terdapat suatu latar sosial yang mencerminkan orang-orang penduduk kota kecil yaitu pandangan adanya bahwa orang akan kejatuhan sial-sial untuk seumur hidupnya-bila telah menurunkan manusia yang disebut umum tidak sah. Pandangan tersebut diungkapkan oleh Bunda kepada aku pada saat ia kecil sehingga pada saat dewasa dia baru mengerti akan pandangan tersebut (hal: 24-25). Dan latar sosial lain ialah kehidupan pertanian bunda yang ditunjukkan dengan aktifitasnya mencangkul di ladang (hal: 25).
C. Latar Sistem Kehidupan Sistem kehidupan yang terjadi dalam cerpen tersebut ialah sebuah keluarga yang terdiri dari bapak, ibu/bunda, dua orang anak kandungnya, dua orang anak angkat serta pembantu/babu. Akan tetapi berjalannya sebuah keluarga dalam cerpen ini secara dominan terletak pada tangan ibu atau terjadi perubahan posisi yang seharusnya di pegang oleh bapak. Hal ini dikarenakan ayahnya yang jarang pulang ke rumah sehingga ibu yang mengatasi berbagai persoalan dalam keluarga tersebut misalnya ketika anaknya “aku” merindukan kepulangan bapaknya dan termasuk dalam urusan mengenai babu/pembantunya, misalnya tentang pengambilan keputusan tentang pemecatan Nyi Kin yang telah mencuri bumbu dapur.
D. Latar Waktu Latar waktu dalam cerpen Yang Sudah Hilang ini berkaitan erat dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Masalah waktu tersebut dapat terbagi dua antara masa kecil tokoh aku dan masa ia dewasa. Hal itu dikarenakan tokoh menceritakan hal-hal dalam masa kecilnya yaitu tentang kehilangan hal yang terdapat dalam masa kecilnya dengan seiring waktu yang berjalan dan membuat ia tambah dewasa. Dalam cerpen itu aku menceritakan hal-hal yang hilang seiring kali Lusi yang dianggapnya mengiringi berbagai kehilangannya. Hal itu bermula dari kehilangan lagu-lagu daerah yang sering dinyanyikan bunda waktu ia kecil, uang sen yang berada dalam mimpinya, kehilangan babu”nyi Kin” karena meninggalkan rumahnya, kehilangan saat-saat aku hendak tidur ibunya yang selalu menidurkan dan memberinya kehangatan, dan mulai kehilangan ayahnya yang jarang pulang ke rumah dengan alasan sibuk bekerja. Dari banyaknya kehilangan itu membuat tokoh aku selalu mengingatnya hingga waktu dewasa dan baru ia mengerti ketika ia dewasa dengan aku mengenangnya dan menceritakan kembali tentang kehilangan tersebut. Misalnya saja dengan peristiwa kepercayan yang aneh orang-orang penduduk kecil Dan hal itu baru diketahui setelah dewasa. Kepercayaan tersebut ialah bahwa orang akan kejatuhan sial-sial untuk seumur hidupnya-bila telah menurunkan manusia yang disebut umum tidak sah (hal 24).
Biografi Pramudya
Perjalanan hidup Pramudya dimulai dari kelahirannya di Blora tanggal 6 Februari 1925. Ayahnya bernama Mastoer (Bekerja sebagai guru di Holandsch-inlandsche Scool, namun karena jumlah gaji yang sedikit ia kemudian mengajar di Institute Boedi Oetomo)dan ibunya bernama Oemi Saedah. Kemunculan berbagai bentuk pergerakan yang merupakan embrio pergerakan nasional Indonesia turut membentuk karakter Pramudya. Ditutupnya sekolah untuk pribumi Institute Boedi Oetomo ternyata mengguncang perekonomian keluarga Mastoer dan membuat Mastoer kembali bersedia menjadi guru di HIS. Sejak saat itu hubungan Pramudya dan ayah pecah, pramudya kecewa dengan keputusan ayahnya tersebut. Pramudya menganggap ayahnya menyerah total terhadap Belanda dan nasib. perlakuan ayahnya yang kasar, dan menganggap Pram sebagai anak bodoh menyebabkan Pram menjadikan ibunya sebagai satu-satunya tempat mengadu. Berkat ibunya pulalah Pram bisa melanjutkan ke sekolah Radio Volkchool. Kebersamaan Pramudya berakhir setelah ibunya dibunuh oleh penyakit TBC pada tanggal 2 Maret 1942 (Widiatmoko. 2004:52-55).
Tanggal 2 Mei 1950 dengan bantuan Menteri PPK dr. Abu Hanifah, Pram diangkat sebagai redaktur Balai Pustaka bagian Kesusastraan Modern dengan gaji dua ratus empat rupiah. Namun kekecewaan Pram terhadap pimpinan Balai Pustaka membuatnya mengundurkan diri dan mendirikan Literary & Features Agenci Duta yang berkecimpung di dunia pendidikan, bahasa, kesenian, dan kebudayaan. (Widiatmoko. 2004: 60)
Melalui karya-karyanya Pram semakin dikenal publik, hal itu turut menjadikan rumah tangganya membaik dan mampu mebelu rumah. Bersamaan dengan hal itu anak Pram yang pertama lahir. Tentulah hal tersebut mempengaruhi perkembangan kehidupan sosialnya, terutama dalam hubungannya dengan pengarang-pengarang lainnya. Salah seorang pengarang yang sering mengunjungi Pram adalah A. Darta, seorang Marxis dan juga anggota Lekra yang didirikan pada tahun 1950.
Hubungan Cerpen dengan Biografi
Pram merupakan salah satu tokoh yang sering keluar masuk penjara oleh karena itu ia mempunyai rasa kemanusian dan memahami pentingnya kebebasan bagi manusia. Sisi kemanusiaan yang ditonjolkan Pram dalam cerpen Yang Sudah Hilang antara lain tercermin dalam diri tokoh Nyi Kin yang diusir dari rumah “aku” karena alasan mencuri. Selain itu, Pram lebih menonjolkan sisi rasionalitas yang tercermin dalam diri tokoh bunda. Hal tersebut tampak dalam cuplikan dibawah ini. Pernah juga aku bercerita pada bunda tentang apa yang kulihat itu pada bunda. Bunda tak mau mendfengarkan dengan sungguh-sungguh kadang-kadang sebaliknya malah . ia merenggut. Dipandangnya aku dengan matanya aku dengan marah: ” siapa yang bercerita padamu tentang setan-setan itu ?”………..
“engkau tidak boleh membohongi dia..” Ia juga banyak menyoroti kehidupan sosial disekitarnya. Pada tahun-tahun sebelum menulis cerpen Yang Sudah Hilang banyak penyakit yang muncul seperti TBC yang telah merenggut nyawa ibunya. Dalam cerpen Yang Sudah Hilang ia juga menulis adanya penyakit seperti raja singa. Ibu Pram memberikan pengaruh yang kuat bagi pembentukan watak Pram dan juga jalan pemikiranya. Bagi Pram sendiri ia menulis cerpen dan karyanya yang lain terinpirasi dari ibunya. Dalam cerpen aku tersebut ia menggambarakan bagaimana peranan perempuan sangat besar bagi perkembangan sang anak. Selain itu terdapat pula tokoh perempuan seperti Nyi kin dan babu yang kedua. Karakter kuat seorang perempuan dalam karangan fiksinya didasarkan pada ibunya, “seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun”. Ketika Pramoedya melihat kembali ke masa lalu, ia melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan – ibunya. Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu itu Pramoedya masih berumur 17 tahun. Hubungan cerpen dengan kondisi sosial historis zamannya Faham realisme sosialis mendasari Pramoedya untuk membuat karya sastra yang kental dengan nuansa sejarah bangsanya. Pramoedya menganggap rakyat yang mengerti sejarah bangsa dan dunianya dengan baik akan mampu berfikir secara dialektis. Sehingga dalam karya-karyanya Pramoedya seringkali terlihat mengajak pembacanya untuk memandang sejarah sebagai realitas yang terus bergerak (Widiatmoko. 2004: 88). Hal tersebut nampak pada kutipan berikut:
Kadang-kadang bunda berparas kesal bila bapak tirinya datang. Dan pernah suatu kali ia berkata padaku dengan jalan tak langsung: “Engkau tak boleh menjalani jalan maksiat” katanya. “Lihatlah kakekmu itu. Begitulah akibatnya. Segala usahanya gagal. Segala doa dan harapannya tak sampai ke tempatnya.” (hlm: 24-25)
Kutipan di atas menunjukkan usaha tokoh Bunda agar tokoh Aku tak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan kakeknya. Dalam hal ini sejarah pendahulunya dijadikan pelajaran.
Dalam cerpen Yang Sudah Hilang Pram mencoba menggambarkan keadaan zamannya yaitu sekitar tahun 1950. Pada tahun tersebut terjadi revolusi besar dari bentuk pemerintahan Indonesia yang berbentuk serikat menjadi bentuk republik atau kesatuan. Konsep mengenai revolusi atau perubahan tersebut digambarkan oleh Pram dalam cerpen Yang Sudah Hilang. Dalam cerpen tersebut terdapat konsep perubahan yang dominan. Selain itu, juga tampak adanya perasaan kurang senang terhadap lingkungannya yang ia ungkapan melalui cara penggunaan kosakata atau kalimat dalam cerpen Yang Sudah Hilang tersebut seperti percakapan yang tidak berkeputusan, tidak lancar, kalimat yang pendek-pendek, serta kerap kali dalam bentuk seruan-seruan. Adanya perkataan yang berulang ulang juga tampak dalam cerpen tersebut seperti perkataan Yang Sudah Hilang. Terdengar didalam cerpen-cerpennya, manusia yang bergulat dengan dirinya sendiri dalam mencari jawaban bagi segala pertanyaan yang berulang-ulang kembali pada alasan yang lama yang kerap kali bukan berupa bukti yang jelas.Selain itu, ia juga menggunakan bahasa bahasa Jawa sehari-hari dari budaya Jawa klasik.

Pekerjaannya sebagai seorang sosialis membuatnya kerap mengamati lingkungannya seperti dalam cerpen Yang Sudah Hilang. Dalam cerpen tersebut ia menggambarkan banyaknya masalah kehidupan seperti perceraian, penyakit, gagalnya panen yang timbul sebagai akibat adanya perubahan sosial dan politik dalam pemerintahan. Pram lebih menonjolkan sisi-sisi manusiawi, rasional, pro tionghoa, perampasan hak dan kebebasan dalam berbagai novel dan cerpen karangannya. Dalam cerpen Yang Sudah Hilang, Pram seperti mengisahkan jalan kehidupannya sendiri. Antara pengalaman, pengamatan sosial,dan berbagai kenangan yang ada,ia rangkum menjadi satu. Di mulai dari kenangan-kenangan terhadap ibunya yang selalu menghiburnya kala sedih,menidurkannya ketika tubuhnya yang kecil itu telah lelah dan capai, hingga menyuapinya.
Diceritakan pula dalam cerpen ini, bahwa ibunya adalah orang yang taat bersembahyang, meski ketika tokoh Aku menanyakan dimana bapak, ibunya terpaksa berbohong untuk menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Keadaan yang membuat ibunya terpojok. Mungkin dapat dikatakan hal itu menggambarkan kehidupan Pram yang dimasa lalu bapaknya merupakan seorang pejuang sehingga ia sering ditinggalkan oleh bapaknya itu.
Begitu pula ketika babu yang bernama Nyi Kin, pergi tanpa pamit ,ia seolah kehilangan sesuatu yang amat berharga dalam hidupnya. Ketika hal itu ditanyakan pada ibunya,ibunya hanya menjawab bahwa ia sedang sakit dan tidak akan kembali lagi kemari.
Hubungan cerpen dengan kondisi sosial dan pandangan dunia pengarang
Berdasarkan apa yang yang diperjuangkan Pramoedya, ia adalah sosok yang menganggap kesejahteraan hidup di dunia ini merupakan hal yang paling utama dan tidak memperkaya diri sendiri dengan apa yang bukan haknya, individualis, dan humanis. Hal itulah yang menjadi pandangan Pramoedya dalam melihat kehidupan bangsa Indonesia (Widiatmoko. 2004: 92). Mengacu pada asumsi tersebut, Pramoedya dalam cerpen Yang Sudah Hilang mencoba melukiskan bagaimana kehidupan keluarga tahun 1950-an. Lengkap dengan bayang-bayang mitos, bagaimana seorang tuan berdialog dengan babunya, dancerita-cerita kerajaan.
Tokoh Bunda yang diciptakan Pramoedya dalam cerpen Yang Sudah Hilang berhasil mewakili konflik-konflik batin yang dialami oleh perempuan dan keluarganya pada masa itu. Bagaimana tokoh Bunda digambarkan sebagai tokoh yang mampu menguatkan anaknya meskipun ia sendiri beberapa kali menangis. Sedangkan tokoh Nyi Kin juga mampu menggambarkan bagaimana seorang perempuan harus menjadi korban sejarah hingga terkena penyakit sipilis.
Genesis Cerpen Yang Sudah Hilang
Setelah melihat semua unsur pendukung cerpen Yang Sudah Hilang, dapat dicari genetis (asal-usul) cerpen tersebut. Cerpen Yang Sudah Hilang dapat dikatakan lahir dari rasa humanis pengarang yang tidak menginginkan adanya penindasan terhadapndan menginginkan adanay persamaan hak antar individu. Tokoh-tokoh dalam cerpen Yang Sudah Hilang berhasil mencerminkan kondisi keluarga pada masa itu.
Kesimpulan
Hasil kajian terhadap cerpen Yang Sudah Hilang menggunakan analisis strukturalisme genetik menunjukkan bukti bahwa pada tahun 1950-an masyarakat Blora masih percaya kepada mitos, masih terdapat korban kawin paksa, dan menjadikan perempuan sebagai korban rumah tangga. Hal tersebut membuat kaum perempuan harus tegar.
Kondisi tersebut memunculkan kegelisahan bagi Pramoedya bahwa harus ada keberanian dan keteguhan pada diri perempuan sehingga berani mengambil keputusan seperti yang dilukiskan Pramoedya dalam tokoh Bunda. Dalam cerpen Yang Sudah Hilang Pramoedya menunjukan nasib tragis yang harus dialami oleh perempuan.