Senin, 13 Juni 2011

Teori Resepsi

TEORI RESEPSI SASTRA I
Teori resepsi sastra merupakan salah satu aliran dalam penelitian sastra
yang terutama dikembangkan oleh mazhab Konstanz tahun 1960-an di jerman.
Teori ini menggeserkan fokus penelitian dari struktur teks ke arah penerimaan
atau penikmatan pembaca. Mazhab Konstanz meneruskan penelitian
fenomenologi, strukturalisme Praha, dan hermeneutika.
Untuk memahami latar belakang teori-teori resepsi, terlebih dahulu
dijelaskan secara singkat pandangan-pandangan yang berperan mendorong
tumbuhnya pandangan resepsionistik itu, terutama fenomenologi dah
hermeunetika.
Fenomenologi dirintis oleh Edmund Husserl sebagai aliran filsafat yang
menekankan bahwa gejala-gejala harus diajak berbicara dan diberi kesempatan
memperlihatkan diri. Bagi husserl, objek penelitian filosofis yang sebenarnya
adalah isi kesadaran kita dan bukan objek dunia. Kita menemukan sifat-sifat
universal atau esensial dalam benda-benda yang tampak justru di dalam kesadaran
kita. Dengan demikian, makna gejala-gejala hanya dapat disimpulkan berdasarkan
pengalaman kita mengenai gejala-gejala itu. Ketika Roman Ingarden mencoba
menggambarkan cara khas penerimaan sebuah karya seni, dia menggunakan
kerangka acuan fenomenologi untuk menjelaskannya. Menurut Ingarden, setiap
karya sastra secara prinsip belum lengkap karena hanya menghadirkan bentuk
skematik dan sejumlah tempat tanpa batas yang perlu dilengkapi secara individual
menurut pengalamannya akan karya-karya lain. Namun demikian, sejauh
menyangkut teks, kelengkapan itu tak pernah dapat sempurna. Yang dapat
dilakukan untuk melengkapi struktur karya sastra itu adalah melakukan
konkretisasi (penyelarasan atau pengisian makna oleh pembaca).
Hermeneutika semula terbatas pada teori dan kaidah menafsirkan sebuah
teks, khususnya kitab suci agama Yahudi dan Kristen secara filologis, historis,
dan teologis. Schleiermacher memperluas istilah itu untuk menyebut cara kita
memahami dan menafsirkan sesuatu yang selalu dipengaruhi oleh konteks
43
historis. Gadamer memperluas lagi lingkup hermeneutik. Menurut dia istilah itu
mengacu pada proses mengetahui, memahami, dan menafsirkan sesuatu tidak
hanya melibatkan subjek dan objek, melainkan merupakan sebuah proses sejarah.
Cakrawala kesadaran sejarah yang meliputi si penafsir menentukan
pengetahuannya (Hartoko, 1986: 38).
Berikut ini akan dikemukakan teori-teori resepsi yang paling menonjol
dalam lingkup teori sastra.
1. Hans Robert Jauss: Horison Harapan
Teori resepsi, yang merupakan sebuah aplikasi historis dari tanggapan
pembaca terutama berkembang di Jerman ketika hans Robert Jauss
menerbitkan tulisan berjudul Literary Theory as a Challenge to Literary
Theory (1970). Fokus perhatiannya, sebagaimana teori tanggapan pembaca
lainnya, adalah penerimaan sebuah teks. Minat utamanya bukan pada
tanggapan seorang pembaca tertentu pada suatu waktu tertentu melainkan
pada perubahan-perubahan tanggapan interpretasi dan evaluasi pembaca
umum terhadap teks yang sama atau teks-teks yang berbeda dalam kurun
waktu berbeda.
Jauss merupakan seorang ahli dalam bidang sastra Perancis abad
pertengahan dari Universitas Konstanz. Sebagai seorang ahli dalam bisang
sastra lama, Jauss beranggapan bahwa karya sastra lama merupakan
produk masa lampau yang memiliki relevansi dengan masa sekarang,
dalam arti ada nilai-nilai terntentu untuk orang yang membacanya. Untuk
menggambarkan relevansi itu Jauss memperkenalkan konsep yang
terkenal: Horizon Harapan yang memungkinkan terjadinya penerimaan
dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap sebuah objek literer.
Melalui penelitian resepsi, Jauss ingin merombak sejarah sastra masa itu
yang terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra
(genre). Fokus perhatiannya adalah proses sebuah karya sastra diterima,
sejak pertama kali ditulis sampai penerimaan-penerimaan selanjutnya.
44
De Man menilai bahwa Jauss berusaha menjembatani teori-teori
formalisme Rusia dengan teori-teori Marxis. Teori formalisme Rusia
dipandangnya terlalu berlebihan menekankan nilai estetik teks sehingga
mengabaikan dungsi sosial sastra. Sebaliknya teori-teori Marxis terlalu
menekankan fungsi sosial sastra dalam masyarakat sehingga hakikat sastra
sebagai karya seni kurang diperhatikan. Jauss menegaskan bahwa sebuah
karya sastra merupakan objek estetik yang memiliki implikasi estetik dan
implikasi historik. Implikasi estetik timbul apabila teks dinilai dalam
perbandingan dengan karya-karya lain yang telah dibaca, dan implikasi
historis muncul akibat perbandingan historis dengan rangkaian penerimaan
atau resepsi sebelumnya.
Jaus mengungkapkan tujuh tesis pemikiran teoretisnya. Secara
singkat ketujuh tesis itu berikut ini.
1) Karya sastra bukanlah monumen yang mengungkapkan makna yang
satu dan sama, seperti anggapan tradisional mengenai objektivitas
sejarah sebagai deskripsi yang tertutup. Karya sastra ibarat oerkestra:
selalu memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menghadirkan
resonansi yang baru yang membebaskan teks itu dari belenggu bahasa,
dan menciptakan konteks yang dapat diterima pembaca masa kini.
Sifat dialogal ini memungkinkan pembaca mengapropriasikan masa
lampau untuk ditiru, diabaikan, atau ditolak.
2) Sistem horison harapan pembaca timbul sebagai akibat adanya momen
historis karya sastra, yang meliputi suat prapemahaman mengenai
genre, bentuk, dan tema dalam karya yang sudah diakrabi, dan dari
pemahaman mengenai oposisi antara bahasa puitis dan bahasa seharihari.
Sekalipun sebuah karya sastra tampak baru sama sekali, ia
sesungguhnya tidak baru secara mutlak seolah-olah hadir dari
keosongan. Sastra telah memerpsiapkan pembacanya dalam sebuah
sistem penerimaan yang khas melalui tanda-tanda dan kode-kode
dalam perbandingan dengan hal yang sudah dikenal sebelumnya. Jadi,
ada interaksi antara teks dengan konteks pengalaman pencerapan
45
estetik yang bersifat transsubjektif itu. Horison harapan
memungkinkan seseorang mengenal ciri artistik sebuah karya teks
sastra.
3) Jika ternyata masih ada jarak estetik antara horison harapan dengan
wujud sebuah karya sastra yang baru, maka proses penerimaan dapat
mengubah harapan itu baik melalui penyangkalan terhadap
pengalaman estetik yang sudah dikenal atau melalui kesadaran bahwa
sudah muncul suatu pengalaman estetik yang baru. Di sini dituntut
penerimaan sastra sebagaimana penerimaan seni pertunjukan, yang
selalu memenuhi horison harapan sesuai dengan cita rasa keindahan,
sentimen-sentimen, dan emosi yang sudah dikenal. Justru karya sastra
yang adiluhung memiliki sifat artistik jarak estetik ini.
4) Rekonstruksi mengenai horison harapan terhadap karya sastra sejak
diciptakan atau disambut pada masa lampau hingga masa kini, akan
menghasilkan berbagai varian resepsi dengan semangat jaman yang
berbeda. Dengan demikian, pandangan platonis mengenai makna karya
sastra yang objektis, tunggal dan abadi untuk semua penafsir perlu
ditolak.
5) Teori estetika penerimaan tidak hanya sekadar memahami makna dan
bentuk karya sastra menurut pemahaman historis. Dia menuntut agar
kita memasukkan sebuah karya individual ke dalam rangkaian sastra
agar lebih dikenal posisi dan arti historisnya dalam konteks
pengalaman sastra.
6) Apabila pemahaman dan pemaknaan sebuah karya sastra menurut
resepsi historis tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan sikap
estetik, maka seseorang dapat menggunakan perspektif sinkronis untuk
menggambarkan persamaan, perbedaan, pertentangan, ataupun
hubungan antara sistem seni sejaman dengan sistem seni dalam masa
lampau. Sebuah sejaran sastra menjadi mantap dalam pertemuan
perspektif sinkronis dan diakronis. Jadi, sistem sinkronis tetap harus
46
membuat masa lampau sebagai elemen struktural yang tak dapat
dipisahkan.
7) Tugas sejarah sastra tidak menjadi lengkap hanya dengan
menghadirkan sistem-sistem karya sastra secara sinkronis dan
diakronis, melainkan harus juga dikaitkan dengan sejarah umum.
Kedudukan khas dan unik dari sejarah sastra perlu perlu mendapat
kepunuhannya dalam sejarah umum. Hubungan ini tidak berakhir
dengan sekadar menemukan gambaran mengenai situasi sosial yang
berlaku di dalam karya sastra. Fungsi sosial karya sastra hanya
sungguh terwujud bila pengalaman sastra pembaca masuk ke dalam
horison harapan mengenai kehidupannya yang praktis, membuat
dirinya semakin memahami dunianya, dan akhirnya memiliki pengaruh
kepada tingkah laku sosialnya. Pandangan Jauss tempaknya
memperoleh sambutan dan dukungan yang luas di kalahngan ilmuwan
sastra modern.
2. Wolfgang Iser: Pembaca Implisit
Iser juga termasuk salah seoramh eksponen mazhab Konstanz. Tetapi
berbeda dari Jaunn yang memperkenalkan model sejarah resepsi, Iser lebih
memfokuskan perhatiannya kepada hubungan individual antara teks dan
pembaca (estetikan pengolahan). Pembaca yang dimaksud oleh Iser
bukanlah pembaca konkret individual, melainkan pembaca implisit. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa pembaca implisit merupakan suatu instansi
di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan
pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu
sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu.
Iser mengemukakan teori resepsinya dalam bukunya The Act of
Reading: a Theory of Aesthetic Response (1978). Menurut Iser, tak
seorang pun yang menyangkal keberadaan pembaca dalam memberi
penilaian terhadap karya sastra, sekalipun orang berbicara mengenai
otonomi sastra. Oleh karena itu, observasi terhadap respon pembaca
47
merupakan studi yang esensial. Pusat kegiatan membaca adalah interaksi
antara struktur teks dan pembacanya. Teori fenomenologi seni telah
menekankan bahwa pembacaan sastra tidak hanya melibatkan sebuah teks
sastra, melainkan juga aksi dalam menanggapi teks. Teks itu sendiri
hanyalah aspek-aspek skematik yang diciptakan pengarang, yang akan
digantikan dengan kegiatan konkretisasti (realisasi makna teks oleh
pembaca).
Iser (1978: 20-21) menyebutkan bahwa karya saastra memiliki dua
kutub, yakni kutub artistik dan kutub estetik. Kutub artistik adalah kutub
pengarang, dan kutub estetik merupakan realisasinya yang diberikan oleh
pembaca. Aktualisasi yang benar terjadi di dalam interaksi antara teks
(perhatian terhadap teknik pengarang, struktur bahasa) dan pembaca
(psikologi pembaca dalam proses membaca, fungsi struktur bahasa
terhadap pembaca). Penelitian sastra harus dimulai dari kode-kode struktur
yang terdapat dalam teks. Aspek verbal (struktur/bahasa) perlu dipahami
agar menghindarkan penerimaan yang arbitrer. Fungsi struktur itu tidak
berlaku selama belum ada efeknya bagi pembaca. Oleh karena itu
penelitian perlu dilanjutkan dengan mendeskripsikan interaksi antara
bahasa dan pembaca, yang merupakan kepenuhan penerimaan teks.
Bagi Iser, tugas kritik teks adalah menjelaskan potensi-potensi
makna tanpa membatasi diri pada aspek-aspek tertentu, karena makna teks
bukanlah sesuatu yang tetap melainkan sebagai peristiwa yang dinamik,
dapat berubah-ubah sesuai dengan gudang pengalaman pembacanya.
Sekalipun disadari bahwa totalitas makna teks tidak dapat secara tuntas
dipahami, proses membaca itu sendiri merupakan suatu prakondisi penting
bagi pembentukan makna. Makna referensial bukanlah ciri pokok estetis.
Apa yang dinamakan estetis adalah jika hal tertentu membawa hal baru,
sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Jadi, penetapan makna estetis
sesungguhnya bermakna ganda, bersifat estetis sekaligus diskursif.
Pengalaman yang dibangun dan digerakkan dalam diri pembaca oleh
48
sebuah teks menunjukkan bahwa kepenuhan makna estetis muncul dalam
relasi dengan sesuatu di luar teks.
Pandangan Iser tentang estetika resepsi dapat dipahami dengan
meninjau teorinya mengenai pembaca implisit dan membandingkannya
dengan teori-teori pembaca lainnya.
Menurut Iser, konsep tradisional mengenai pembaca selama ini
umumnya mencakup dua kategori, yakni pembaca nyata atau pembaca
historis dan pembaca potensial atau pembaca yang diandaikan oleh
pengarang. Diandaikan bahwa pembaca jenis kedua ini mampu
mengaktualisasikan sebuah teks dalam sebuah konteks secara memadai,
seperti seorang pembaca ideal yang memahami kode-kode pengarang.
Selain teori-teori tradisional tersebut, terdapat beberapa pandangan
yang lebih modern tentang pembaca, yang menurut Iser tidak bebas dari
kesalahan.
1) Michael Riffaterre memperkenalkan istilah superreader, yakni sintesis
pengalaman membaca dari sejumlah pembaca dengan kompetensi
yang berbeda-beda. Kelompok ini diharapkan dapat mengungkap
potensi semantik dan pragmatik dari pesan teks melalui stilistika.
Kesulitan akan muncul bila terdapat penyimpangan gaya, yang
mungkin hanya dipahami dengan referensi lain di luar teks.
2) Stanley Fish mengajukan istilah informed reader (pembaca yang tahu,
yang berkompeten), yang mirip dengan konsep Rifattere. Untuk
menjadi seseorang pembaca yang berkompeten, diperlukan syaratsyarat:
a) kemampuan dalam bidang bahasa, b) kemampuan semantik,
c) kemampuan sastra. Melalui kemampuan-kemampuan ini seorang
informed reader dapat merespon karya sastra. Teori ini tidak dapat
diterima karena lebih berkaitan dengan teks daripada dengan
pembacanya. Perubahan kalimat misalnya, lebih berkaitan dengan
aturan gramatikal daripada pengalaman pembaca.
3) Edwin Wolff mengusulkan intended reader, yakni model pembaca
yang berada dalam benak penulis ketika dia merekonstruksikan idenya.
49
Model pembaca ini mengacu kepada pembayangan seorang penulis
tentang pembaca tulisannya melalui observasi akan norma dan nilai
yang dianut masyarakat pembacanya. Pembaca ini akan mampu
menangkap isyarat-isyarat tekstual. Persoalannya, bagaimana jika
seorang pembaca yang tidak dituju pengarang tetapi mampu
memberikan arti kepada sebuah teks?
Iser sendiri mengajukan konsep implied reader untuk mengatasi
kelemahan pandangan-pandangan teoritis mengenai pembaca.
Pembaca tersirat sesungguhnya telah dibentuk dan distrukturkan di
dalam teks sastra. Teks sendiri telah mengandung syarat-syarat bagi
aktualisasi yang memungkinkan pembentukan maknanya dalam benak
pembaca (Iser, 1982: 34). Dengan demikian, kita harus mencoba
memahami efek tanggapan pembacanya terhadap teks tanpa prasangka
tanpa mencoba mengatasi karakter dan situasi historisnya. Teks sudah
mengasumsikan pembacanya, entah pembaca yang berkompeten
maupun tidak. Teks menampung segala macam pembaca, siapapun
dia, karena struktur teks sudah menggambarkan peranannya.
Perhatikan bahwa teks sastra disusun seorang pengerang (dengan
pandangan dunia pengarangnya) mengandung empat perspektif utama,
yaitu pencerita, perwatakan, alur, dan bayangan mengenai pembaca.
Keempat perspektif ini memberi tuntunan untuk menemukan arti teks.
Arti teks sebuah teks dapat diperoleh jika keempat perspektif ini dapat
dipertemukan dalam aktivitas atau proses membaca. Di sini terlihat
kedudukan pembaca yang sangat penting dalam memadukan perspetifperspektif
tersebut dalam satu kesatuan tekstual, yang dipandu oleh
penyatuan atau perubahan perspektif.
Instruksi-instruksi yang ditunjukkan teks merangsang bayangan
mental dan menghidupkan gambaran yang diberikan oleh struktur teks.
Jadi gambaran mental itu muncul selama proses membaca struktur
teks. Pemenuhan makna teks terjadi dalam proses ideasi
(pembayangan dalam benak pembaca) yang menerjemahkan realitas
50
teks ke dalam realitas pengalaman personal pembaca. Secara konkret,
isi nyata dari gambaran mental ini sangat dipengaruhi oleh gudang
pengalaman pembaca sebagai latar referensial.
Konsep implied reader memungkinkan kita mendeskripsikan efekefek
struktur sastra dan tanggapan pembaca terhadap teks sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar