Minggu, 13 November 2011

Ciluk Baa,,

Kaki-kaki kecil berlarian tampa beban
Tak ada yang dipikirnya
Hanya sejengkal pelipis menemani ladang plastik udara
Galau terpikir oleh satu raga

Serangga raksasa menemani lompatan yang halus
Menghentakkan tarian inji-injit
Walaupun terjungkal dari kolam bola
Terjatuh dari roda bersekat tiga
Tak ada sedikitpun linangan air mata dipipinya

Angin semilir menemani setiap langkahnya
Menggema dalam terowongan cacing
Ringkasan warna-warni menjebaknya
Mata lebam, letih menelusuri setiap rintangan

Segala resah hilang seketika
Hanya kebahagiaanlah yang memacu cerianya

Selasa, 27 September 2011

Gejolak Cinta

Lelah menapak menelusuri angan
Terbisat suara lantunan palsu
Menepis keheningan

lara seroja
Duka selalu menyelimuti pikiran

Terkadang cinta selalu tak terbalas
Ketika menaruh kesunyian dalam harapan
Membias dalam satu sukma terdalam
Selalu membekas menyimpan harapan kosong

Terjebak dalam imajinasi cinta
Dan selalu ingin mendapatkannya
Namun itu hanya kesia-siaan belaka
Hingga harapan tinggal kenangan

Mencoba keluar dari kemelut cinta
Goresan senyum membawa duka
Selalu terbayang dalam lamunan
Bagaikan fatamorgana di padang pasir
Selalu nampak nyata
Namun kekecewaan yang didapatkan

Jumat, 01 Juli 2011

Penyesalan

dalam dinginnya malam ini kadang kuteringat akan dirimu …

teringat ketika senyummu masih untukku …

yang selalu hadir dalam mimpiku …

yang sampai saat ini masih terbayang dipelupuk mataku …





kau yang dulu kucinta …

dan sampai kapanpun kau selalu kucinta …

kini pergi tinggalkan untukku hanya sisa …

rasa pahit yang selalu terbayang jelas diingatanku …





memang ku tak pernah bisa menyadari …

semua keegoisanku pada diri …

mungkin itu yang membuatmu lelah dan muak …

hingga kau tinggalkanku sendiri …





tak banyak kata lain untukmu lagi …

selain kata “aku masih sayang kamu” …

hanya itu yang masih melekat difikiranku …

tak pernah hilang dalam dekapan waktu yang terluka …



disini dibatas senja kuberdiri …

menantang sang surya tuk tak tenggelam …

supaya ku tak telelap dalam tidur …

supaya ku tak terhanyut dalam lamunan …

Senin, 13 Juni 2011

Teori Resepsi

TEORI RESEPSI SASTRA I
Teori resepsi sastra merupakan salah satu aliran dalam penelitian sastra
yang terutama dikembangkan oleh mazhab Konstanz tahun 1960-an di jerman.
Teori ini menggeserkan fokus penelitian dari struktur teks ke arah penerimaan
atau penikmatan pembaca. Mazhab Konstanz meneruskan penelitian
fenomenologi, strukturalisme Praha, dan hermeneutika.
Untuk memahami latar belakang teori-teori resepsi, terlebih dahulu
dijelaskan secara singkat pandangan-pandangan yang berperan mendorong
tumbuhnya pandangan resepsionistik itu, terutama fenomenologi dah
hermeunetika.
Fenomenologi dirintis oleh Edmund Husserl sebagai aliran filsafat yang
menekankan bahwa gejala-gejala harus diajak berbicara dan diberi kesempatan
memperlihatkan diri. Bagi husserl, objek penelitian filosofis yang sebenarnya
adalah isi kesadaran kita dan bukan objek dunia. Kita menemukan sifat-sifat
universal atau esensial dalam benda-benda yang tampak justru di dalam kesadaran
kita. Dengan demikian, makna gejala-gejala hanya dapat disimpulkan berdasarkan
pengalaman kita mengenai gejala-gejala itu. Ketika Roman Ingarden mencoba
menggambarkan cara khas penerimaan sebuah karya seni, dia menggunakan
kerangka acuan fenomenologi untuk menjelaskannya. Menurut Ingarden, setiap
karya sastra secara prinsip belum lengkap karena hanya menghadirkan bentuk
skematik dan sejumlah tempat tanpa batas yang perlu dilengkapi secara individual
menurut pengalamannya akan karya-karya lain. Namun demikian, sejauh
menyangkut teks, kelengkapan itu tak pernah dapat sempurna. Yang dapat
dilakukan untuk melengkapi struktur karya sastra itu adalah melakukan
konkretisasi (penyelarasan atau pengisian makna oleh pembaca).
Hermeneutika semula terbatas pada teori dan kaidah menafsirkan sebuah
teks, khususnya kitab suci agama Yahudi dan Kristen secara filologis, historis,
dan teologis. Schleiermacher memperluas istilah itu untuk menyebut cara kita
memahami dan menafsirkan sesuatu yang selalu dipengaruhi oleh konteks
43
historis. Gadamer memperluas lagi lingkup hermeneutik. Menurut dia istilah itu
mengacu pada proses mengetahui, memahami, dan menafsirkan sesuatu tidak
hanya melibatkan subjek dan objek, melainkan merupakan sebuah proses sejarah.
Cakrawala kesadaran sejarah yang meliputi si penafsir menentukan
pengetahuannya (Hartoko, 1986: 38).
Berikut ini akan dikemukakan teori-teori resepsi yang paling menonjol
dalam lingkup teori sastra.
1. Hans Robert Jauss: Horison Harapan
Teori resepsi, yang merupakan sebuah aplikasi historis dari tanggapan
pembaca terutama berkembang di Jerman ketika hans Robert Jauss
menerbitkan tulisan berjudul Literary Theory as a Challenge to Literary
Theory (1970). Fokus perhatiannya, sebagaimana teori tanggapan pembaca
lainnya, adalah penerimaan sebuah teks. Minat utamanya bukan pada
tanggapan seorang pembaca tertentu pada suatu waktu tertentu melainkan
pada perubahan-perubahan tanggapan interpretasi dan evaluasi pembaca
umum terhadap teks yang sama atau teks-teks yang berbeda dalam kurun
waktu berbeda.
Jauss merupakan seorang ahli dalam bidang sastra Perancis abad
pertengahan dari Universitas Konstanz. Sebagai seorang ahli dalam bisang
sastra lama, Jauss beranggapan bahwa karya sastra lama merupakan
produk masa lampau yang memiliki relevansi dengan masa sekarang,
dalam arti ada nilai-nilai terntentu untuk orang yang membacanya. Untuk
menggambarkan relevansi itu Jauss memperkenalkan konsep yang
terkenal: Horizon Harapan yang memungkinkan terjadinya penerimaan
dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap sebuah objek literer.
Melalui penelitian resepsi, Jauss ingin merombak sejarah sastra masa itu
yang terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra
(genre). Fokus perhatiannya adalah proses sebuah karya sastra diterima,
sejak pertama kali ditulis sampai penerimaan-penerimaan selanjutnya.
44
De Man menilai bahwa Jauss berusaha menjembatani teori-teori
formalisme Rusia dengan teori-teori Marxis. Teori formalisme Rusia
dipandangnya terlalu berlebihan menekankan nilai estetik teks sehingga
mengabaikan dungsi sosial sastra. Sebaliknya teori-teori Marxis terlalu
menekankan fungsi sosial sastra dalam masyarakat sehingga hakikat sastra
sebagai karya seni kurang diperhatikan. Jauss menegaskan bahwa sebuah
karya sastra merupakan objek estetik yang memiliki implikasi estetik dan
implikasi historik. Implikasi estetik timbul apabila teks dinilai dalam
perbandingan dengan karya-karya lain yang telah dibaca, dan implikasi
historis muncul akibat perbandingan historis dengan rangkaian penerimaan
atau resepsi sebelumnya.
Jaus mengungkapkan tujuh tesis pemikiran teoretisnya. Secara
singkat ketujuh tesis itu berikut ini.
1) Karya sastra bukanlah monumen yang mengungkapkan makna yang
satu dan sama, seperti anggapan tradisional mengenai objektivitas
sejarah sebagai deskripsi yang tertutup. Karya sastra ibarat oerkestra:
selalu memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menghadirkan
resonansi yang baru yang membebaskan teks itu dari belenggu bahasa,
dan menciptakan konteks yang dapat diterima pembaca masa kini.
Sifat dialogal ini memungkinkan pembaca mengapropriasikan masa
lampau untuk ditiru, diabaikan, atau ditolak.
2) Sistem horison harapan pembaca timbul sebagai akibat adanya momen
historis karya sastra, yang meliputi suat prapemahaman mengenai
genre, bentuk, dan tema dalam karya yang sudah diakrabi, dan dari
pemahaman mengenai oposisi antara bahasa puitis dan bahasa seharihari.
Sekalipun sebuah karya sastra tampak baru sama sekali, ia
sesungguhnya tidak baru secara mutlak seolah-olah hadir dari
keosongan. Sastra telah memerpsiapkan pembacanya dalam sebuah
sistem penerimaan yang khas melalui tanda-tanda dan kode-kode
dalam perbandingan dengan hal yang sudah dikenal sebelumnya. Jadi,
ada interaksi antara teks dengan konteks pengalaman pencerapan
45
estetik yang bersifat transsubjektif itu. Horison harapan
memungkinkan seseorang mengenal ciri artistik sebuah karya teks
sastra.
3) Jika ternyata masih ada jarak estetik antara horison harapan dengan
wujud sebuah karya sastra yang baru, maka proses penerimaan dapat
mengubah harapan itu baik melalui penyangkalan terhadap
pengalaman estetik yang sudah dikenal atau melalui kesadaran bahwa
sudah muncul suatu pengalaman estetik yang baru. Di sini dituntut
penerimaan sastra sebagaimana penerimaan seni pertunjukan, yang
selalu memenuhi horison harapan sesuai dengan cita rasa keindahan,
sentimen-sentimen, dan emosi yang sudah dikenal. Justru karya sastra
yang adiluhung memiliki sifat artistik jarak estetik ini.
4) Rekonstruksi mengenai horison harapan terhadap karya sastra sejak
diciptakan atau disambut pada masa lampau hingga masa kini, akan
menghasilkan berbagai varian resepsi dengan semangat jaman yang
berbeda. Dengan demikian, pandangan platonis mengenai makna karya
sastra yang objektis, tunggal dan abadi untuk semua penafsir perlu
ditolak.
5) Teori estetika penerimaan tidak hanya sekadar memahami makna dan
bentuk karya sastra menurut pemahaman historis. Dia menuntut agar
kita memasukkan sebuah karya individual ke dalam rangkaian sastra
agar lebih dikenal posisi dan arti historisnya dalam konteks
pengalaman sastra.
6) Apabila pemahaman dan pemaknaan sebuah karya sastra menurut
resepsi historis tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan sikap
estetik, maka seseorang dapat menggunakan perspektif sinkronis untuk
menggambarkan persamaan, perbedaan, pertentangan, ataupun
hubungan antara sistem seni sejaman dengan sistem seni dalam masa
lampau. Sebuah sejaran sastra menjadi mantap dalam pertemuan
perspektif sinkronis dan diakronis. Jadi, sistem sinkronis tetap harus
46
membuat masa lampau sebagai elemen struktural yang tak dapat
dipisahkan.
7) Tugas sejarah sastra tidak menjadi lengkap hanya dengan
menghadirkan sistem-sistem karya sastra secara sinkronis dan
diakronis, melainkan harus juga dikaitkan dengan sejarah umum.
Kedudukan khas dan unik dari sejarah sastra perlu perlu mendapat
kepunuhannya dalam sejarah umum. Hubungan ini tidak berakhir
dengan sekadar menemukan gambaran mengenai situasi sosial yang
berlaku di dalam karya sastra. Fungsi sosial karya sastra hanya
sungguh terwujud bila pengalaman sastra pembaca masuk ke dalam
horison harapan mengenai kehidupannya yang praktis, membuat
dirinya semakin memahami dunianya, dan akhirnya memiliki pengaruh
kepada tingkah laku sosialnya. Pandangan Jauss tempaknya
memperoleh sambutan dan dukungan yang luas di kalahngan ilmuwan
sastra modern.
2. Wolfgang Iser: Pembaca Implisit
Iser juga termasuk salah seoramh eksponen mazhab Konstanz. Tetapi
berbeda dari Jaunn yang memperkenalkan model sejarah resepsi, Iser lebih
memfokuskan perhatiannya kepada hubungan individual antara teks dan
pembaca (estetikan pengolahan). Pembaca yang dimaksud oleh Iser
bukanlah pembaca konkret individual, melainkan pembaca implisit. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa pembaca implisit merupakan suatu instansi
di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan
pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu
sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu.
Iser mengemukakan teori resepsinya dalam bukunya The Act of
Reading: a Theory of Aesthetic Response (1978). Menurut Iser, tak
seorang pun yang menyangkal keberadaan pembaca dalam memberi
penilaian terhadap karya sastra, sekalipun orang berbicara mengenai
otonomi sastra. Oleh karena itu, observasi terhadap respon pembaca
47
merupakan studi yang esensial. Pusat kegiatan membaca adalah interaksi
antara struktur teks dan pembacanya. Teori fenomenologi seni telah
menekankan bahwa pembacaan sastra tidak hanya melibatkan sebuah teks
sastra, melainkan juga aksi dalam menanggapi teks. Teks itu sendiri
hanyalah aspek-aspek skematik yang diciptakan pengarang, yang akan
digantikan dengan kegiatan konkretisasti (realisasi makna teks oleh
pembaca).
Iser (1978: 20-21) menyebutkan bahwa karya saastra memiliki dua
kutub, yakni kutub artistik dan kutub estetik. Kutub artistik adalah kutub
pengarang, dan kutub estetik merupakan realisasinya yang diberikan oleh
pembaca. Aktualisasi yang benar terjadi di dalam interaksi antara teks
(perhatian terhadap teknik pengarang, struktur bahasa) dan pembaca
(psikologi pembaca dalam proses membaca, fungsi struktur bahasa
terhadap pembaca). Penelitian sastra harus dimulai dari kode-kode struktur
yang terdapat dalam teks. Aspek verbal (struktur/bahasa) perlu dipahami
agar menghindarkan penerimaan yang arbitrer. Fungsi struktur itu tidak
berlaku selama belum ada efeknya bagi pembaca. Oleh karena itu
penelitian perlu dilanjutkan dengan mendeskripsikan interaksi antara
bahasa dan pembaca, yang merupakan kepenuhan penerimaan teks.
Bagi Iser, tugas kritik teks adalah menjelaskan potensi-potensi
makna tanpa membatasi diri pada aspek-aspek tertentu, karena makna teks
bukanlah sesuatu yang tetap melainkan sebagai peristiwa yang dinamik,
dapat berubah-ubah sesuai dengan gudang pengalaman pembacanya.
Sekalipun disadari bahwa totalitas makna teks tidak dapat secara tuntas
dipahami, proses membaca itu sendiri merupakan suatu prakondisi penting
bagi pembentukan makna. Makna referensial bukanlah ciri pokok estetis.
Apa yang dinamakan estetis adalah jika hal tertentu membawa hal baru,
sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Jadi, penetapan makna estetis
sesungguhnya bermakna ganda, bersifat estetis sekaligus diskursif.
Pengalaman yang dibangun dan digerakkan dalam diri pembaca oleh
48
sebuah teks menunjukkan bahwa kepenuhan makna estetis muncul dalam
relasi dengan sesuatu di luar teks.
Pandangan Iser tentang estetika resepsi dapat dipahami dengan
meninjau teorinya mengenai pembaca implisit dan membandingkannya
dengan teori-teori pembaca lainnya.
Menurut Iser, konsep tradisional mengenai pembaca selama ini
umumnya mencakup dua kategori, yakni pembaca nyata atau pembaca
historis dan pembaca potensial atau pembaca yang diandaikan oleh
pengarang. Diandaikan bahwa pembaca jenis kedua ini mampu
mengaktualisasikan sebuah teks dalam sebuah konteks secara memadai,
seperti seorang pembaca ideal yang memahami kode-kode pengarang.
Selain teori-teori tradisional tersebut, terdapat beberapa pandangan
yang lebih modern tentang pembaca, yang menurut Iser tidak bebas dari
kesalahan.
1) Michael Riffaterre memperkenalkan istilah superreader, yakni sintesis
pengalaman membaca dari sejumlah pembaca dengan kompetensi
yang berbeda-beda. Kelompok ini diharapkan dapat mengungkap
potensi semantik dan pragmatik dari pesan teks melalui stilistika.
Kesulitan akan muncul bila terdapat penyimpangan gaya, yang
mungkin hanya dipahami dengan referensi lain di luar teks.
2) Stanley Fish mengajukan istilah informed reader (pembaca yang tahu,
yang berkompeten), yang mirip dengan konsep Rifattere. Untuk
menjadi seseorang pembaca yang berkompeten, diperlukan syaratsyarat:
a) kemampuan dalam bidang bahasa, b) kemampuan semantik,
c) kemampuan sastra. Melalui kemampuan-kemampuan ini seorang
informed reader dapat merespon karya sastra. Teori ini tidak dapat
diterima karena lebih berkaitan dengan teks daripada dengan
pembacanya. Perubahan kalimat misalnya, lebih berkaitan dengan
aturan gramatikal daripada pengalaman pembaca.
3) Edwin Wolff mengusulkan intended reader, yakni model pembaca
yang berada dalam benak penulis ketika dia merekonstruksikan idenya.
49
Model pembaca ini mengacu kepada pembayangan seorang penulis
tentang pembaca tulisannya melalui observasi akan norma dan nilai
yang dianut masyarakat pembacanya. Pembaca ini akan mampu
menangkap isyarat-isyarat tekstual. Persoalannya, bagaimana jika
seorang pembaca yang tidak dituju pengarang tetapi mampu
memberikan arti kepada sebuah teks?
Iser sendiri mengajukan konsep implied reader untuk mengatasi
kelemahan pandangan-pandangan teoritis mengenai pembaca.
Pembaca tersirat sesungguhnya telah dibentuk dan distrukturkan di
dalam teks sastra. Teks sendiri telah mengandung syarat-syarat bagi
aktualisasi yang memungkinkan pembentukan maknanya dalam benak
pembaca (Iser, 1982: 34). Dengan demikian, kita harus mencoba
memahami efek tanggapan pembacanya terhadap teks tanpa prasangka
tanpa mencoba mengatasi karakter dan situasi historisnya. Teks sudah
mengasumsikan pembacanya, entah pembaca yang berkompeten
maupun tidak. Teks menampung segala macam pembaca, siapapun
dia, karena struktur teks sudah menggambarkan peranannya.
Perhatikan bahwa teks sastra disusun seorang pengerang (dengan
pandangan dunia pengarangnya) mengandung empat perspektif utama,
yaitu pencerita, perwatakan, alur, dan bayangan mengenai pembaca.
Keempat perspektif ini memberi tuntunan untuk menemukan arti teks.
Arti teks sebuah teks dapat diperoleh jika keempat perspektif ini dapat
dipertemukan dalam aktivitas atau proses membaca. Di sini terlihat
kedudukan pembaca yang sangat penting dalam memadukan perspetifperspektif
tersebut dalam satu kesatuan tekstual, yang dipandu oleh
penyatuan atau perubahan perspektif.
Instruksi-instruksi yang ditunjukkan teks merangsang bayangan
mental dan menghidupkan gambaran yang diberikan oleh struktur teks.
Jadi gambaran mental itu muncul selama proses membaca struktur
teks. Pemenuhan makna teks terjadi dalam proses ideasi
(pembayangan dalam benak pembaca) yang menerjemahkan realitas
50
teks ke dalam realitas pengalaman personal pembaca. Secara konkret,
isi nyata dari gambaran mental ini sangat dipengaruhi oleh gudang
pengalaman pembaca sebagai latar referensial.
Konsep implied reader memungkinkan kita mendeskripsikan efekefek
struktur sastra dan tanggapan pembaca terhadap teks sastra.

Kamis, 09 Juni 2011

Kumpulan Puisi

Kumpulan Puisi

Kertas putih melukis rindu
Kamis, Agustus 13
secarik kertas terbaring lemah tak berdaya.. Memberi pengharapan pada jemari yang mau meraihnya.. Tergolek lemah Pena disampingnya.. Berharap dipeluk mesra oleh jemari..

Sang surya tak mampu hangat kan, sang angin tak mampu sejukkan..

Hanya jemari lentik yg berusaha memeluk mesra pena,, berusaha menggores tinta hitam di kertas putih..
Menggoreskan luka yg kesekian kali terjadi, luka yg begitu menyesak dihati,,

Luka karena rindu
Luka karena mencintai dustamu
Meski begitu, tetap ku merinduimu,

Mungkin terlihat bodoh, tapi bagiku..
Bisa mencintaimu merupakan keindahan yang mahal,
Meski dusta sebagai balasan..

Tak urung ku gores tinta hitam,
Menulis semua kerinduan yang mendalam,,

Biarlah kertas tak putih lagi,
Biarlah tinta habis terurai,
Biarlah..
Biarlah..

Asal kau bisa mengerti,
Goresan rindu dalam kertas ini,,


Marblezia, Januari 08




Taufiq Ismail

BAGAIMANA KALAU


Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam,
tapi buah alpukat,
Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat,
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah,
dan kepada Koes Plus kita beri mandat,
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi,
dan ibukota Indonesia Monaco,
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas,
salju turun di Gunung Sahari,
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin
dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop,
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia
dibayar dengan pementasan Rendra,
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi,
dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan,
Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di
kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan
margasatwa Afrika,
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil
mempertimbangkan protes itu,
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita
pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya
kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.


1971







Taufiq Ismail

BAYI LAHIR BULAN MEI 1998


Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga
Suaranya keras, menangis berhiba-hiba
Begitu lahir ditating tangan bidannya
Belum kering darah dan air ketubannya
Langsung dia memikul hutang di bahunya
Rupiah sepuluh juta


Kalau dia jadi petani di desa
Dia akan mensubsidi harga beras orang kota
Kalau dia jadi orang kota
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya
Kalau dia bayar pajak
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing
Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing


Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga
Mulutmu belum selesai bicara
Kau pasti dikencinginya.


1998









Taufiq Ismail
KETIKA BURUNG MERPATI SORE MELAYANG



Langit akhlak telah roboh di atas negeri
Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri
Karena hukum tak tegak, semua jadi begini
Negeriku sesak adegan tipu-menipu
Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku
Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku
Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku
Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku
Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku


Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan
Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan
Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan
Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan


Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan
Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan
Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan
Berjuta belalang menyerang lahan pertanian
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan


Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran api
Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti
Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri
Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini
Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api
Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri


Kukenangkan tahun ‘47 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga
Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi
Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri
Seluruh korban empat tahun revolusi
Dengan Mei ‘98 jauh beda, jauh kalah ngeri
Aku termangu mengenang ini
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri


Ada burung merpati sore melayang
Adakah desingnya kau dengar sekarang
Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan
Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan
Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah
Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku
Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu?


Ada burung merpati sore melayang
Adakah desingnya kau dengar sekarang



1998
















Chairil Anwar

AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943










Chairil Anwar
PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

1948


Siasat,
Th III, No. 96
1949












Chairil Anwar
MIRAT MUDA, CHAIRIL MUDA

Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
menatap lama ke dalam pandangnya
coba memisah mata yang menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah.

Ketawa diadukannya giginya pada mulut Chairil;
dan bertanya: Adakah, adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan pasti di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti.
Dia rapatkan

Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan dera,
menuntut tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati

-di pegunungan 1943, ditulis 1949











Chairil Anwar
RUMAHKU

Rumahku dari unggun-unggun sajak
Kaca jernih dari segala nampak

Kulari dari gedung lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala
Dipagi terbang entah kemana

Rumahku dari unggun-unggun sajak
Disini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
jika menagih yang satu

April 1943

Peranan Bahasa Indonesia Saat ini ..

Peranan Bahasa Indonesia Saat ini ..

            Bahasa Indonesia merupakan Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk berkomunikasi satu sama lain . Beragamnya Suku di Indonesia tidak membuat masyarakat Indonesia lepas dari komunikasi karena ada bahasa nasional yang dapat digunakan yaitu Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia itu sendiri merupakan bahasa penghubung untuk setiap suku di Indonesia yang bisa tetap berkomunikasi secara baik tanpa ada salah paham.
            Di Jakarta contohnya, yang tinggal di Jakarta bukan hanya warga Jakarta asli (Betawi) , Namun di Jakarta merupakan pusat dari berjuta-juta masyarakat se-Indonesia dari Sabang sampai Merauke ada di Jakarta. ( Batak, Sunda, Jawa, Aceh, dll ). Bercampurnya Suku dalam suatu kotaJakarta tidak ada Rasis. tersebut tidak membuat masyarakat tidak dapat bersosialisasi dengan baik, namun ternyata di
            Masyarakat satu dengan lainnya dapat mengerti dan bersatu untuk bangsa dengan menggunakan bahasa Indonesia. Perbedaan Suku yang merupakan perbedaan bahasa tetap bukan jadi masalah.
            Untuk Peranan bahasa Indonesia itu sendiri jelas untuk kondisi saat ini yaitu sebagai bahasa resmi kenegaraan ,  bahasa pengantar didalam dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, dan alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi., sebagai bahasa media massa . media massa cetak dan elektronik, baik visual, audio, maupun audio visual harus memakai bahasa Indonesia. Media massa menjadi tumpuan kita dalam menyebarluaskan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Sehingga seluruh masyarakat di Indonesia yang ingin mengetahui perkembangan yang tejadi tetap bisa mengerti karena menggunakan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia.

LAGU INDO